Sabtu, 24 Januari 2009

Kekuasaan dalam Puisi

Prosesi Kenistaan

Meluncur reka cerita maya

dari mulut pesonamu

ketika kaum buruh, pekerja, dan dhuafa

mandi keringat dan terinjak-injak

antre beras dan minyak curah 1 2 atau 3 kg saja.

Tersungging senyuman di sumringahnya wajah kekuasaan

Semburat mata menatap berkilat

pada saat ratusan bayi sekarat

karena ibunya melarat

dan rumah sakit menolaknya merawat.

Kisah Umar bin Khattab hanyalah pelipur lara di kala senja.

Yogyakarta, 16 Oktober 2008


Ayat-ayatMu

Kau tunjukkan kuasaMu

Ayat-ayat usia kaupahatkan

Di kepalaku yang kadang kujadikan mahkota kesombongan

rambut legam memutih tak ketahuan

Di wajahku yang sering dilumuri ketidakjujuran

garis-garis kaulukiskan.

Di ketegapan badan

kerentaan tak terelakkan

Ayat-ayatMu menjelma di balik bayangan

mengumandangkan pesan kefanaan.

Yogyakarta, 16 Oktober 2008



Demi Kekuasaan


Demi kekuasaan,

macan menyembunyikan taringnya

ketika mereka akan menerkam mangsanya:

kijang-kijang dibesarkannya dengan eraman merdu

ayam-ayam dibiarkan hidup dalam tekanannya

kambing-kambing, dan sapi-sapi gemuk sendiri dalam cengkramannya.

Auman garangnya kini diperdengarkan merdu

Taring runcing dirupakan gading

Cakar kekar disimpan kalau terpaksa digelar dijadikan penawar

Bau busuk tubuh rakus

disolek biar tampak menawan dengan kewibawaan yang memabukkan.

Topeng-topeng menawan kini menghiasinya

Semuanya menyembunyikan kebenanaran

Semuanya mengaburkan kejujuran

Semuanya mengobral kepalsuan

Semuanya mengumbar fatamorgana yang menyilaukan

Topeng-topeng menjual pesona memabuk kepayang

Demi kekuasaan.

Yogyakarta, 15 Oktober 2008




Angin Pedalaman


Kausemburkan angin pedalaman

di relung-relung malam

di antara tiang-tiang matahari benderang

pada saat-saat kita meniti tangga impian

bahkan ketika kita berdebat panjang

tentang carut-marutnya negeri dambaan

”Biar nyamuk-nyamuk busuk itu mati kelabakan” katamu.

Yogyakarta, 18 Oktober 2008



Rona Peradaban


Dari pucuk-pucuk modernisasi

tumbuh bunga-bunga kehidupan

memabukkan

Dari lembah-lembah hitam peradaban

menyeruak berbiak-biak kumbang

penghisap tepung sari insani

Dari sisi-sisi zaman

terlupakan

matahari tetap bersinar

hujan selalu meyegarkan

angin senantiasa menyejukkan

bumi setia menanti tanpa rintih sedih

pasti.

Yogyakarta, 19 Oktober 2008




Tidak ada komentar:

Posting Komentar