Minggu, 25 Januari 2009

NABI MUSA DAN DUA EKOR BURUNG

NABI MUSA DAN DUA EKOR BURUNG


Pada suatu hari, ketika Nabi Musa AS dan Yusya' bin Nun bepergian, tiba-tiba hinggaplah seekor burung putih di bahu beliau seraya berkata, "Hai Musa! Jagalah aku pada hari ini dari ancaman maut. Sebab, akui akan dimangsa oleh burung elang." Atas izin beliau, burung itu masuk ke dalam baju beliau.

Tak lama kemudian, burung elang datang menghadap beliau seraya berkata, "Hai Musa! Jangan kau halangi diriku untuk memangsa buruanku"

"Bagaimana kalau kusembelihkan domba untukmu?" tanya beliau.
"Daging domba bukanlah makananku." jawab elang.
"Bagaimana kalau daging pahaku ini?" tawar beliau.
"Aku hanya bersedia jika memakan dua biji mata Anda," jawab elang.

Maka beliau langsung merebahkan tubuhnya dalama keadaan telentang, dan burung elang itu hinggap di dada beliau untuk mematuk bola mata beliau dengan paruhnya.

Yusya' bin Nun menyahut, "Hai Musa! Apakah kedua bola Anda itu sepele untuk membela burung itu?"

Ketika itulah burung putih terbang dari lengan baju beliau, dan elang pun memburunya. Anehnya, kedua burung itu tiba-tiba kembali menghadap Nabi Musa AS. "Sebenarnya aku adalah malaikat Jibril," aku seekor burung. "Dan aku adalah malaikat Mikail," jawab burung yang satunya lagi.

"Allah memerintahkan kepadfa kami untuk menguji kesabaran Anda dalam mengabdi kepada ketentuan Allah SWT. " seru keduanya.

Deskripsi dan Analisis Kesalahan Penalaran



DESKRIPSI DAN ANALISIS

KASUS KESALAHAN PENALARAN


A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup bersama dalam suatu kelompok. Dalam kelompok itu mereka berkomunikasi satu sama lain. Tindak komunikasi ini dilakukan untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan tujuan-tujuan lain dalam rangka berinterkasi antaranggota kelompok.

Dengan demikian tindak komunikasi bukanlah peristiwa yang kebetulan. Akan tetapi, merupakan kegiatan yang disengaja, dengan tujuan-tujuan tertentu. “Komunikasi bukan melulu merupakan suatu kejadian, peristiwa, sesuatu yang terjadi; komunikasi adalah suatu yang fungsional, mengandung maksud, dan dirancang untuk menghasilkan beberapa efek atau akibat pada lingkungan para penyimak dan para pembicara” (Tarigan, 1981: 11).

Ada dua jenis komunikasi yang dilakukan dalam suatu kelompok sosial, yakni komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang sangat vital. Komunikasi ini menggunakan bahasa, baik bahasa lisan maupun tertulis. Komunikasi nonverbal sarananya bukan bahasa, melainkan gerak-gerik tubuh dan anggota tubuh manusia, bunyi bel, bendera, warna, gambar, dan lain-lain.

Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi verbal, menuntut kecermatan dan kesantunan. Hal ini karena berbagai aspek bahasa yang digunakan sangat menentukan efek dan makna yang dikandungnya. Efek dan makna bahasa antara lain ditentukan oleh strukturnya. Meskipun komponen bahasa yang digunakan sama, akan menimbulkan makna yang berbeda jika struktur atau susunannya berbeda. Selain itu, komponen bahasa tertentu, kata-kata, misalnya, sudah mengandung makna tertentu, bahkan mengandung nilai rasa atau efek tertentu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa tidak sembarang, menuntut kehati-hatian dalam menyusunnya agar menimbulkan makna atau efek tertentu sesuai dengan yang diharapkan.

Pada fungsinya sebagai alat komunikasi, bahasa juga sekaligus sebagai alat berpikir. Hal ini bisa dipahami karena apa yang dikomunikasikan yakni berupa buah pikiran, perasaan, dan sikap umumnya tidak lepas dari proses berpikir. Jelaslah bahwa dalam penggunaan bahasa tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan berpikir. Bahkan, ekspresi bahasa yang digunakan mencerminkan isi dan jalan pikiran pengguna bahasa tersebut. Struktur bahasa yang dapat dimengerti, sejalan dengan jalan pikiran pendengar atau pembaca, mencerminkan jalan pikiran yang baik dari pembicara atau penulisnya. Sebaliknya, jika struktur bahasa yang digunakan kacau, mencerminkan jalan pikiran pembicara atau penulis yang kacau juga. Gorys Keraf menegaskan bahwa ”Jalan pikiran pembicara turut menentukan baik tidaknya kalimat seseorang, mudah tidaknya pikirannya dapat dipahami” (Keraf, 1989:49).

Pada bagian selanjutnya, Keraf menjelaskan bahwa:


Yang dimaksud dengan jalan pikiran adalah suatu proses berpikir yang berusaha untuk menghubung-hubungkan evidensi-evidensi menuju kepada suatu kesimpulan yang masuk akal. Ini berarti kalimat-kalimat yang diucapkan harus bisa dipertanggungjawabkan dari segi akal yang sehat atau singkatnya harus sesuai dengan penalaran. Bahasa tidak bisa lepas dari penalaran (Keraf, 1989: 49).


Struktur atau susunan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi bukanlah tujuan, tetapi sekadar suatu alat untuk merangkaikan sebuah pemikiran atau maksud dengan sejelas-jelasnya. Kenyataan ini semakin menjadi suatu keharusan tatkala seseorang menggunakan bahasa dalam suasana resmi atau dalam suasana ilmiah. Komunikasi ilmiah menuntut penggunaan bahasa yang efektif. Bahasa yang digunakan hendaknya jelas, objektif, dan rasional; tidak ambigu, dan terhindar dari unsur subjektivitas dan emosional.

Pentingnya penataan penalaran yang baik dalam berbahasa, akan sangat nyata jika kita mengamati dan menganalisis kasus-kasus penggunaan bahasa yang mengandung kekacauan penalaran.

Tulisan sederhana ini akan menyajikan berbagai kasus penggunaan bahasa yang mengandung kesalahan penalaran tersebut. Hal ini sangat penting terutama bagi pengguna bahasa di kalangan masyarakat terpelajar.


B. Deskripsi Kasus Kesalahan Penalaran

Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan penggunaan kalimat-kalimat yang tidak benar dipandang dari segi penataan penalaran. Kesalahan tersebut umumnya tidak disadari oleh pendengar atau pembaca. Hal ini karena secara umum kalimat-kalimat tersebut dapat dipahami. Akan tetapi, jika diteliti dengan saksama, maka akan diketahui bahwa kalimat-kalimat tersebut tidak bernalar atau tidak logis.

Beberapa kalimat yang mengandung kesalahan penalaran tersebut, sebagai contoh, antara lain sebagai berikut.

  1. Waktu dan tempat kami persilakan.
  2. Untuk mempersingkat waktu, marilah kita lanjutkan pada acara keempat.
  3. Dia lebih terampil merangkai bunga daripada janur.
  4. Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan, maka selesailah penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
  5. Karena sering tidak masuk sekolah, Kepala SMA itu terpaksa mengeluarkan siswa tersebut dari sekolahnya.
  6. Karena gadis itu dilahirkan di Bali, pasti ia pandai tari bali.
  7. Mayat wanita yang ditemukan itu sebelumnya sering terlihat mondar-mandir di sekitar kompleks tersebut.
  8. Kita harus mengejar keinggalan dalam bidang pendidikan.


C. Analisis Kasus dan Koreksi Kesalahan

1. Waktu dan tempat kami persilakan.

Hampir dalam setiap upacara yang diselenggarakan oleh berbagai instansi dan organisasi, para pewara (pembawa acara atau protokol) mengucapkan kalimat tersebut. Atau secara lengkap, kalimat tersebut berbunyi Acara berikutnya adalah sambutan Bupati Cianjur, waktu dan tempat kami persilakan.

Pada bagian awal kalimat tersebut, jelas bahwa yang akan memberikan sambutan adalah Bupati Cianjur, bukan waktu dan bukan juga tempat. Akan tetapi, pada bagian kalimat selanjutnya, pembawa acara malah mempersilakan waktu dan tempat, seolah-olah yang diundang untuk tampil di mimbar pertemuan penting itu adalah waktu dan tempat. Apakah betul waktu dan tempat dapat tampil di mimbar dan memberikan sambutan?

Jelaslah, bahwa pada kalimat tersebut, terdapat informasi yang tidak dapat diterima akal yang sehat. Kalimat tersebut tidak bernalar atau paling tidak mengandung kesalahan penataan penalaran. Jalan pikiran protokol tersebut kacau.

Dalam konteks tersebut, kalimat protokol dapat diterima meskipun tidak bernalar. Pendengar dalam pertemuan itu masih bisa dianggap beruntung karena masih dapat menerima informasi yang dimaksudkan oleh protokol. Seandainya jalan pikiran pewara tergelincir lebih parah, misalnya dengan mengucapkan kursi dan meja kami persilakan, tidak tahulah apa yang akan terjadi di tempat pertemuan penting tersebut.

Kalimat tersebut menjadi bernalar jika disusun sebagai berikut.

Kalimat bernalar

¨ Acara berikutnya adalah adalah sambutan Bupati Cianjur. Bapak Bupati kami persilakan; atau

¨ Acara berikutnya adalah adalah sambutan Bupati Cianjur. Bapak Cecep Muhtar Sholeh kami persilakan; atau Yang Terhormat Bapak Cecep Muhtar Sholeh kami persilakan.


  1. Untuk mempersingkat waktu, marilah kita lanjutkan pada acara keempat.

Kesalahan pada kalimat tersebut adalah penggunaan frase mempersingkat waktu. Apakah waktu dapat dipersingkat? Waktu tidak dapat dipersingkat atau dibuat jadi singkat. Waktu tidak dapat diringkas karena rentang waktu sehari semalam sudah pasti, yakni 24 jam, satu jam sama dengan 60 menit, satu menit sama dengan 60 detik. Yang dapat kita lakukan bukanlah mempersingkat waktu, melainkan menghemat penggunaan waktu. Misalnya, pertemuan semula direncanakan berlangsung selama 1½ jam. Akan tetapi, karena cuaca mendung pertanda hujan, acara-acara pertemuan pun dipercepat. Akibatnya, tentu saja waktunya dihemat sehingga waktu pertemuan hanya berlangsung 45 menit, misalnya.

Kalimat bernalar

¨ Untuk menghemat waktu, kita lanjutkan pada acara keempat.


3. Dia lebih terampil merangkai bunga daripada janur.

Kesalahan kalimat tersebut berkaitan erat dengan kesalahan penyusunan kalimat, yakni tentang kesejajaran. Akan tetapi, karena kelasahan ini berpengaruh pada maknanya, maka kesalahan ini pun bisa dikategorikan sebagai kesalahan penataan penalaran.

Tampaknya, kesalahan penalaran seperti ini jarang terjadi, tetapi jika kita renungkan dengan saksama, ternyata kesalahan nalarnya sangat besar. Mari kita bandingkan dengan kalimat lain.

(a) Ia lebih senang makan daging ayam daripada kambing.

Kalimat (a) di atas mengandung makna, ”ia senang makan daging ayam ’dan’ kambing pun senang makan daging ayam” sebab yang dibandingkan adalah subjek kalimat. Kalimat ini jika dilengkapkan akan menjadi Ia lebih senang makan daging ayam daripada kambing makan daging ayam. Hanya, ia lebih senang daripa kambing. Jadi, kalimat 3 pun kalau dilengkapkan akan menjadi Dia lebih terampil merangkai bunga daripada janur merangkai bunga. Kita yakin bahwa maksud penyusun kalimat bukanlah demikian, melainkan ia menyenangi daging ayam dan kurang menyenangi daging kambing; dan dia lebih terampil merangkai bunga, tetapi kurang terampil merangkai janur.

Kalimat kesalahan sejenis antara lain :

(b) Mereka tidak paham dan mengerti keadaan politik dewasa ini.

Kesalahan kalimat (b) juga terletak pada ketidaksejajaran frase tidak paham dan mengerti. Mungkinkah mereka yang tidak paham politik dewasa ini sekaligus mereka mengerti politik dewasa ini?

Kalimat-kalimat tersebut harus dicermatkan seperti berikut.

Kalimat bernalar

¨ Dia lebih terampil merangkai bunga daripada merangkai janur.

¨ Ia lebih senang makan daging ayam daripada makan daging kambing.

¨ Mereka tidak paham dan tidak mengerti keadaan politik dewasa ini.


4. Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan, maka selesailah penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.

Benarkah penyusunan makalah akan selesai hanya dnegan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan. Makalah harus dikerjakan dengan tekun, teliti, dan sabar. Penyusun makalah harus berani mengatasi segala rintangan dan hambatan yang dihadapinya dalam penyusunan makalah itu. Jika hal-hal itu dapat dilalui, penyusunan makalah insya Allah dapat selesai.

Tentu kita percaya betul bahwa Tuhan selalu melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada hamba-Nya, termasuk kepada penyusun makalah. Dengan nikmat dan karunia Tuhan yang diterimanya, penyusun makalah dapat bekerja dengan tekun dan sabar, dapat mengatasi segala hambatan dan rintangan yang dihadapinya. Untuk itulah, ia memanjatkan puji syukur kepada tuhan atas keberhasilannya. Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menggunakan kalimat berikut agar penalarannya tidak sesat.

Kalimat bernalar

¨ Penyusun memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa yang telah memberikan kekuatan kepada penyusun sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

¨ Penyusun memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah atas kekuatan yang diberikan-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.


  1. Karena sering tidak masuk sekolah, Kepala SMA itu terpaksa mengeluarkan siswa tersebut dari sekolahnya.

Memang, pesan yang terkandung di dalam kalimat jenis ini sampai kepada pembacanya dan dapat dimengerti. Namun, jika dikaitkan dengan jalan pikiran yang sistematis, ternyata kalimat seperti ini salah nalar. Kesalahan berawal dari ketiadaan subjek pada anak kalimat. Anak kalimat karena sering tidak masuk sekolah, tidak mengandung subjek, sementara subjek induk kalimatnya adalah kepala SMA. Jadi, yang sering tidak masuk sekolah dalam kalimat tersebut adalah kepala SMA. Pernyataan ini jelas salah nalar. Dalam bahasa kita terdapat kaidah, yaitu jika dalam anak kalimat tidak terdapat subjek, subjeknya sama dengan subjek induk kalimat. Dalam kalimat Karena ssakit, ia tidak masuk kantor, misalnya, subjek anak kalimat Karena sakit tidak ada, sementara subjek induk kalimat ia tidak masuk kantor adalah ia. Jadi, berdasarkan kaidah itu, yang sakit ialah ia, yaitu subjek induk kalimat. Perbaikan kalimat tersebut adalah sebagai berikut.

Kalimat bernalar

¨ Karena sering tidak masuk sekolah, siswa tersebut terpaksa dikeluarkan dari sekolahnya oleh kepela SMA tersebut.

¨ Karena sering tidak masuk sekolah, siswa tersebut terpaksa dikeluarkan oleh Kepala SMA itu dari sekolahnya.


6. Karena gadis itu dilahirkan di Bali, pasti ia pandai tari bali.

Kesalahan penalaran kalimat tersebut disebabkan oleh generalisasi yang terlalu luas. Penyusun kalimat menyamaratakan kepandaian seseorang yang berasal dari daerah tertentu. Jumlah premis yang mendukung generalisasi tidak seimbang dengan besarnya generalisasi sehingga simpulan yang diambil menjadi salah.

Kita tahu bahwa Bali memiliki budaya yang tinggi. Berbagai kesenian ditumbuhkembangkan di Pulau Dewata ini, termasuk tari-tarian. Jenis-jenis tarian sudah diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika gadis-gadis Bali pada umumnya pandai menari. Akan tetapi, perlu disadari bahwa tidak semua gadis Bali pandai manari, tetapi lebih banyak belajar menyanyi atau gadis Bali yang dibesarkan di luar Bali yang tidak banyak belajar tari bali.

Berdasarkan uraian di atas, kalimat tersebut jelas salah nalar karena tidak semua gadis Bali pandai menari tari bali. Kalimat itu harus diperbaiki sebagai berikut.


Kalimat bernalar

¨ Karena gadis itu dilahirkan di Bali, mungkin ia pandai tari bali.

Supaya kalimat ini dapat diterima semua pihak, kata pasti diganti dengan mungkin.


  1. Mayat wanita yang ditemukan itu sebelumnya sering terlihat mondar-mandir di sekitar kompleks tersebut.

Berdasarkan kalimat tersebut, jika kita bertanya, ”Siapa yang mondar-mandir?” Tentu jawabannya mayat wanita. Jelaslah bahwa kalimat tersebut salah nalar.

Kalimat itu berasal dari dua pernyataan, yaitu (1) Mayat wanita ditemukan dikompleks itu; dan (2) Sebelum menjadi mayat, wanita itu sering mondar-mandir di sekitar kompleks tersebut. Penulis menggabungkan kedua kalimat tersebut dengan tidak mengindahkan jalan pikiran yang jernih sehingga lahirlah kalimat yang salah nalar. Bentuk bernalar kalimat tersebut adalah sebagai berikut.

Kalimat bernalar

¨ Sebelum ditemukan menjadi mayat, wanita itu sering mondar-mandir di sekitar kompleks tersebut


  1. Kita harus mengejar ketinggalan dalam bidang pendidikan.

Mengapa ketinggalan harus dikejar, bukankah justru ketinggalan itu harus diatasi, diupayakan agar menjadi kemajuan. Mungkinkah kita mengejar berbagai ketinggalan; mengejar kemiskinan dan mengejar kebodohan? Di sinilah letak salah nalarnya.

Berikut contoh kalimat yang lebih panjang.

a) Konferensi negara-negara Islam harus mampu merumuskan konsep-konsep untuk mengejar berbagai ketinggalan dari negera-negara non-Islam.

Kalimat tersebut mengandung penataan penalaran atau logis jika disusun seperti berikut.

Kalimat bernalar

¨ Kita harus mengatasi ketinggalan dalam bidang pendidikan.

¨ Konferensi Negara-negara Islam harus mampu merumuskan konsep-konsep untuk mengatasi berbagai ketinggalan dari negera-negara non-Islam.



Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia; Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Badudu, J.S. 1985. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hastuti P.H., Sri. 1989. Sekitar Analisis Kesalahan Berbahasa. Yogyakarta: PT Mitra Gama Widya.

Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Flores: Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah.

__________, 1993. Kamus Linguistik; Edisi Ktiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mundiri. 1994. Logika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. Flores: Nusa Indah.

Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung : Angkasa.


Bacalah dengan Teliti! Ini Sangat Penting




Bacalah Dengan Teliti!
INI SANGAT PENTING




Anak-anakku,
Pembaca yang Budiman,


Pernah ada anak lelaki dengan watak buruk. Ayahnya memberi dia sekantung penuh paku, dan menyuruh memaku satu batang paku di pagar pekarangan setiap kali dia kehilangan kesabarannya atau berselisih paham dengan orang lain.

Hari pertama dia memaku 37 batang di pagar. Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipakainya berkurang dari hari ke hari. Dia mendapatkan bahwa lebih gampang menahan diri daripada memaku di pagar.

Akhirnya tiba hari ketika dia tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.

Ayahnya kemudian menyuruhnya mencabut sebatang paku dari pagar setiap hari bila dia berhasil menahan diri/bersabar. Hari-hari berlalu dan akhirnya tiba harinya dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar.

Sang ayah membawa anaknya ke pagar dan berkata:
”Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak lubang yang ada di pagar. Pagar ini tidak akan kembali seperti semula. Kalau kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, hal itu selalu meninggalkan luka seperti pada pagar”.

” Kau bisa menusukkan pisau di punggung orang dan mencabutnya kembali,
tetapi akan meninggalkan luka.
Tak peduli berapa kali kau meminta maaf/menyesal, lukanya akan tetap tinggal.
Luka melalui ucapan sama perihnya dengan luka fisik, tetapi lebih abadi.
Kawan-kawan adalah perhiasan yang langka.
Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat.
Mereka bersedia mendengarkan jika itu kau perlukan,
mereka menunjang dan membuka hatimu.
Tunjukkanlah kepada teman-temanmu
betapa kau menyukai mereka. ”



Refleksi untukAnak-anakku
Penyampai Refleksi : Asep Saepudin

Analisis Hikayat Sri Rama

ANALISIS HIKAYAT SRI RAMA (HSR)

Oleh ASEP SAEPUDIN



Penyunting

: Achadiati Ikram


Penerbit

: Penerbit Universitas Indonesia

Jakarta, 1980





1. Ikhtisar Cerita

Awal hikayat, diceritakan perihal lahirnya Rawana setelah dikandung ibunya, Raksagandi, selama dua tahun. Pada usia 12 tahun Rawana sudah biasa memukul mati teman-teman sepermainannya sehingga ia dibuang oleh kakeknya, Bermaraja ke bukit Srandib. Setelah bertapa selama 12 tahun di sana, ia bertemu dengan Nabi Adam. Dengan syarat taat akan hukum Allah SWT., ia dianugerahi empat alam kearajaan yang kesemua rajanya tunduk kepadanya, yaitu kerajaan alam keindraan, kerajaan di dalam bumi, kerajaan di laut, dan kerajaan di permukaan bumi. Di negeri keindraan ia berkuasa, beristri Nila Utama dan beranak yang dinamainya Indrajit. Di dalam bumi ia berkuasa, beristri Putri Pertiwi Dewi beranak Patala Maharayan. Di laut ia berkuasa, beristri Gangga Mahadewi dan beranak Rawana Gangga Mahasura. Dalam usia 12 tahun anak-anaknya diangkatnya menjadi raja. Di Serandib sendiri Rawana mendirikan istana kerajaan besar, Langkapuri. Semua kerajaan di permukaan bumi (alam dunia) takluk kepadanya kecuali kerajaan Indrapuri, Birukasyapurwa, Lakurkatakina, dan negeri Aspahaboga.

Sepeninggal Rawana, Negeri Indrapurinegara, Bermaraja, kakek Rawana meninggal digantikan oleh Badanul. Setelah Badanul meninggal, naik tahtalah Raja Citrabaha, ayah Rawana. Citrabaha memiliki tiga orang anak, yaitu Kumbakarna, Bibusanam, dan Surapandaki. Citrabaha meninggal digantikan oleh Naruna. Naruna meninggal digantikan oleh Raja Syaksya.

Alkisah, terjadi permusuhan antara kerajaan Biruhasyapurwa dengan kerajaan Indrapurinegara. Citrabaha menyerang Birukasyapurwa dan membunuh keluarga raja Datikawaca. Balikasya, anak adik Datikawaca, naik takhta. Setelah mengembalikan kejayaan Birukasyapurwa, Balikasya ingin membalas dendam, menyerang kerajaan Indrapuranegara. Untuk itu, Balikasya mengutus Sipanjalma dan hulubalang lainnya, menyelidiki negeri Indrapuranegara. Dalam penyelidikannya Sipanjalma meracuni menteri dan hulubalang musuh. Setelah meninggalkan surat tantangan, Sipanjalma mengundurkan diri ke negerinya. Sardal dan Kemendekata atas suruhan Raja Syaksya, mengejar Sipanjalma ke Biruhasyapurwa. Terjadilan perang besar-besaran. Rawana berusaha dan berhasil mendamaikan peperangan antara kerajaan-kerajaan tersebut.

Alkisah pula, Dasarata Raman cucu Nabi Adam dari Dasarata Cakrawati, menikah dengan putri Mandudari, anak Mahabisnu. Dari perkawinan mereka, lahirlah Sri Rama dan Laksmana. Sebagai balas jasa atas pertolongannya, Dasarata juga mengawini Baliadari. Dari baliadari Dasarata dikaruniai dua orang anak, yaitu Berdana dan Citradana.

Rawana mendengar kabar bahwa Dasarata memiliki seorang istri yang sangat cantik. Merasa tertarik, dia menemui Dasarata dan meminta Mandudari. Tanpa sepengetahuan suaminya, Mandudari berusaha menciptakan Mandudari tiruan. Mandudari tiruan inilah yang diberikan Dasarata kepada Rawana. Dengan menyamar sebagai anak-anak, Dasarata menemuni Mandudari tiruan. Pada malam harinya, Dasarata kembali ke wujud aslinya dan bersetubuh dengan Mandudari tiruan. Pagi hari Dasarata kembali menjadi anak-anak dan pulang.

Beberapa bulan kemudian Mandudari tiruan melahirkan seorang anak perempuan yang sangat cantik. Akan tetapi, karena ramalan Bibusyanam, saudaranya, bahwa suami anak tersebut akan membahayakannya, anak perempuan tersebut dimasukkan ke dalam lung besi dan dibuangnya ke laut.

Lung besi itu hanyut ke laut negeri Darwatipura dan ditemukan oleh raja negeri itu, Maharaja Kala. Dengan serta merta air susu istrinya, Minuram Dewi pun terpancar. Putri temuannya itu dinamai oleh Maharaja Kala Sita Dewi. Maharaja Kala menamam 40 pohon lontar berbanjar dan berkata, “barang siapa yang berhasil memanah 40 pohon lontar tersebut dengan sekali panah, maka putri itu akan diberikan kepadanya”.

Mencapai usia 12 tahun, Sita Dewi tumbuh dan termashur sebagai putri Maharaja Kala yang sangat cantik. Banyak putra raja yang datang memintanya untuk dijadikan istri. Maka Maharaja Kala mengumumkan bahwa siap yang dapat memanah 40 pohon lontar yang ditanamnya dalam sekali panah, maka Sita Dewi akan diberikan kepadanya. Dalam sayembara itu, atas panggilan langsung Maharaja Kala, Sri Rama datang mengikuti sayembara. Sri Rama memenangkan sayembara. Akhirnya Sri Rama menikah dengan Sita Dewi.

Setelah berhasil melewati peperangan dengan empat anak raja yang sama-sama menginginkan Sita Dewi, Sri Rama memutuskan untuk tinggal di hutan Dalinam, artinya rimba manikam. Mereka ditemani oleh Laksmana. Di hutan itu, Sri Rama dan Sita Dewi mandi di kolam jernih Kala Sehari Bunting. Serta merta mereka jadi kera. Pada saat menjadi kera itu mereka melakukan hubungan intim. Akibatnya, kata Laksmana, Sita akan melahirkan seekor kera. Dengan diurut, akhirnya Sita Dewi mengeluarkan manikam melalui kerongkongannya. Dengan bantuan Bayu Bata, manikam yang telah dibungkus dengan daun budi, dimasukkan ke dalam mulut Dewi Anjani yang sedang bertapa. Akhirnya Dewi Anjani melahirkan seorang anak laki-laki serupa kera yang dinaminya Hanuman.

Merasa sakit hati karena hidung Surapandaki, saudaranya, dirumpungkan oleh Laksmana, Rawana berniat membalas dendam melalui Sita Dewi. Dengan akal dan kesaktiannya, Rawana menculik Sita Dewi.

Dalam perjalanannya mencari Sita Dewi, Sri Rama bertemu dengan bangau yang memberikan kabar bahwa istrinya diculik Rawana. Sri Rama juga bertemu dengan Jentayu yang melawan Rawana ketika Rawana menculik Sita Dewi. Rawana juga bertemua dengan Sugriwa serta Baliraja. Pada saat di Negeri Lakurkatakina, negeri baliraja itu, datanglah Citradana dan Berdana, dua saudaranya dari negeri Indrapura. Mereka datang untuk mengabarkan kematian ayah mereka, Dasarata, dan ingin menjemput Sri Rama agar bersedia menjadi raja di Inderapuri. Sri Rama menolaknya.

Di negeri Lakurkatakina, Sri Rama memperoleh bantuan. Di sini Sri Rama bertemu dengan Hanuman, anaknya yang lahir melalui Dewi Anjani. Hanuman pula yang disuruhnya untuk menyelidiki keadaan Sita Dewi di Langkapuri . Di Langkapuri Hanuman membakar semua istana kecuali tempat tinggal Sita Dewi. Kalau pada saat pergi bertumpukan lengan Sri Rama, maka ketika pulang Hanuman bertumpukan batu kecil di bukit Serandib.

Berdasarkan informasi hasil penyelidikan Hanuman, Sri Rama memutuskan untuk menyerang negeri Rawana itu. Untuk menyeberang ke Langkapuri, dibuatlah tambak dan jembatan penyeberangan. Dalam pekerjaan itu Sri Rama dibantu oleh Maharesi Sahagentala. Setelah tambak dan jembatan penyeberangan selesai dibangun, dimulailah penyeberangan ke Langkapuri dan pecahlah perang antara pihak Sri Rama dan pihak Rawana. Betapa banyaknya rakyat dan prajurit dari kedua belah pihak yang gugur dalam peperangan itu. Sri Rama sendiri berhasil membinasakan Kumbakarna, Badubisa, Patala Marayan, Gangga Mahasura, Indrajit, dan Mulamatani.

Dalam peperangan itu, Sri Rama keluar sebagai pemenang. Dengan begitu Sri Rama berhak menguasai Langkapuri dan menjadi raja yang kedaulatannya sangat luas. Ucapan selamat datang dari kerajaan-kerajaan lain, antara lain dari Maharaja Kala dari negeri Darwati dan Citradana serta Berdana, saudaranya, dari negeri Mandupuranegara. Karena ragu akan kesuciannya, Sita Dewi diuji Sri Rama dengan cara dibakar. Ternyata Sita Dewi tidak terbakar sedikit pun. Artinya, Sita Dewi masih suci.

Atas saran Bibusanam, Sri Rama mendirikan negeri baru, yaitu negeri Daryapuranegara. Adapun kerajaan Langkapuri dikuasakan kepada Jamumenteri. Di negeri baru itu, Sri Rama mendirikan pemerintahan yang adil dan makmur. Pada saat itu pula, Sita Dewi hamil atas upaya Maharesi Kala. Namun, Sita Dewi dipitnah Kikuwi, adik Sri Rama, sehingga Sita Dewi pergi dan menetap selama 12 tahun di negeri Darwati, bersama Maharesi Kala. Dalam pembuangannya itu Sita Dewi melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Tilawi. Karena kehilangan Tilawi, saat diasuhnya, Maharesi Kala menciptakan seorang anak laki-laki lain yaitu Gusi yang segalanya persis Tilawi. Kedua anak tersebut akhirnya hidup bersama seperti dua saudara kandung.

Setelah sekian lama, Sri Rama mmenyadari kekeliruannya. Menurut keyakinannya Sita Dewi tidak bersalah. Justru Kikuwilah yang bersalah. Karena itu, Sri Rama menjemput Sita Dewi. Sri Rama dan Sita Dewi dikawinkan lagi dengan upacara kebesaran. Mereka kembali ke negeri Daryapuranegara, hidup rukun dan bahagia di negeri yang adil makmur.

Dalam kondisi yang sentosa itu, Sri Rama mengawinkan Tilawi dengan putri Indra Kusuma Dewi, anak Indrajit. Sedangkan Gusi dikawinkan dengan Gangga Surani Dewi, putri Gangga Mahasura. Adapun Hanuman menolak untuk dikawinkan dengan putri Balikasya dari negeri Biruhsyapurwa.

Hanuman sempat berperang dengan Tilawi dan Gusi. Peperangan terjadi karena Hanuman menodai istri muda Tilawi, Sendari Dewi. Peperangan terhenti karena Sri Rama turun tangan mendamaikan mereka.

Setelah kejadian itu, Sri Rama mengasingkan diri bertapa di Indipuri bersama Sita Dewi. Di sana Sri Rama ditemani Laksmana dan Hanuman. Dalam masa pertapaan Sri Rama dan Sita Dewi mengajari anak-anaknya tentang tata tertib kerajaan. Demikian juga raja-raja lain banyak yang datang menemuinya. Setelah hampir selama empat puluh tahun, Sri Rama akhirnya meninggal dunia.

2. Struktur Hikayat

2.1 Alur

Secara garis besar alur hikayat ini sebagai berikut. Merasa sebagai raja besar di Langkapuri, Rawana meminta Mandudari istri Dasarata, kepada suaminya. Dasarata tidak menolak. Rawana diberi Mandudari tiruan oleh Mandudari Asli. Dasarata meniduri Mandudari tiruan. Mandudari tiruan melahirkan anak perempuan yang kemudian dibuang oleh Rawana. Maharaja Kala menemukan anak perempuan yang dinamainya Sita Dewi. Karena menang sayembara, Sri Rama berhasil memperistri Sita Dewi. Sita Dewi diculik Rawana sebagai balas dendam terhadap Laksmana yang telah menganiaya saudaranya, Surapandaki. Sri Rama berusaha mencari dan merebut Sita Dewi dari Rawana, mendapat bantuan dari Sugriwa dan Hanuman dari kerajaan Lakurkatakina, dari Maharesi Sahagenta. Terjadilah perang besar-besaran antara pihak Sri Rama dan Rawana, dimenangkan Sri Rama. Sri Rama berkuasa di kerajaan Langkapuri kemudian mendirikan negeri Daryapuranegara yang adil makmur aman sejahtera. Sri Rama memiliki anak Tilawi dan Gusi dari Sita Dewi. Sri Rama mengasingkan diri bertapa selama empat puluh tahun dan meninggal.

Pada umumnya alur dalam Hikayat Sri Rama (HSR) ini terjalin rapi dan merupakan suatu unsur yang menunjang amanat. Akan tetapi, walaupun dalam keseluruhannya demikian halnya, dalam bagian-bagiannya ia ciri khas lain, sehingga tampaknya menjadi amat kompleks. Ini disebabkan juga oleh gaya yang menyukai pengulangan, banyaknya tokoh, dan keanekaan peristiwa.

Unsur lain yang menambah kerumitan ialah kenyataan bahwa kisah utama ditinggalkan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang dimaksudkan sebagai persiapan, tumpuan, atau penjelasan dari kejadian-kejadian selanjutnya. Alur-alur kcil semacam itu, yang kemudian masuk dalam alur besar, dinamakan sub-alur (Ikram, 1980: 22). Dalam novel modern, bagian-bagian seperti ini ibarat sorot balik, yaitu sisipan yang menguraikan latar belakang suatu tokoh di masa lampau tanpa melepaskan alur utamanya. Perbedaannya, bahwa dalam HSR hampir tak mengenal masa lampau dan tidak membedakan mana yang lebih penting: semuanya adalah sekarang.

Dalam (HSR) ini banyak subalur yang menjadi bagian dari alur. Bagian-bagian alur ini merupakan pengantar bagian yang sebenarnya atau bagian alur yang penting. Selain itu, berfungsi sebagai sarana untuk memperkenalkan tokoh yang akan memegang pernana penting dalam cerita. Hal ini misalnya, terjadai pada kisah Rawana. Setelah memberi gamabaran yang sempurna mengenai pribadi Rawana, penulis meninggalkannya dan beralih ke kejadian-kejadian yang berlangsung selama Rawana bertapa (HSR II). Setelah jelas, keadaan ini pun ditinggalkannya untuk beralih ke cerita yang menjelaskan asal usul Raja Baliksya dan permusuhannya dengan keluarga Rawana (HSR III). Kedua sub alur ini bertemu dalam HSR IV dan berpaut kembali dengan HSR I dalam HSR V yang menceritakan Rawana mendamaikan kedua raja yang berperang dalam HSR IV tadi. Dua kali pergantian tempat dan pokok cerita ini cukup ditandai dengan kata ”alkisah” dan dengan menyebutkan nama tokoh utamanya: ” ... ini diceritakan orang yang empunya cerita ini. Tatkala itu tersebut pulang perkataan Bermaraja.” (HSR : 12). Kata ”pulang” ini mengaitkan pokok baru ini kepada cerita pembukaan (HSR: 1). Kadang-kadang juga didijelaskan tempatnya, ” ... datanglah kepada hikayat Maharaja Balikasya di negeri Biruhasyapurwa.” (HSR: hlm. 24).

Untuk memperjelas alur berikut ini adalah kutipan Garis Besar HSR (Ikram, 1980: 36-43).

Lampiran A Garis Besar Hikayat Sri Rama

I.

Rawana jadi raja besar (h. 1)

1. Pembuangannya ke Bukit Srandib. (h. 1)

2. Pertapaannya selama dua belas tahun (h. 2)

3. Pertemuan dan perjanjian dengan Nabi Adam (h. 4)

4. Ra jadi raja dalam empat alam (h. 7)

5. Kelahiran anak-anaknya: Indrajit, Patala Maharayan, Gangga Mahasura (h. 8)

6. Rawana ajdi raja raja di Langkapuri (h. 11)

II.

Negeri Indrapurinegara sepeninggal Rawana (h. 12)

1. Bermaraja, kakek Rawana, meninggal (h. 12)

2. Badanul jadi raja; meninggal (h. 12)

3. Citrabaha, ayah Rawana, jadi raja, kelahiran Kumbakarna, Bibusanam, dan Surapandaki, anak-anaknya; Citrabaha meninggal (h. 14)

4. Naruna jadi raja; meninggal (h. 18)

5. Syaksya jadi raja (h. 22)

III.

Awal mula permusuhan Balikasya terhadap Syakasya (h. 24)

1. Negeri Biruhasyapurwa dikalahkan Citrabaha; raja Datikawaca sekeluarga dibunuh (h. 24)

2. Kelahiran Balikasya, anak adik Datikawaca (h. 24)

3. Balikasya mengembalikan kebesaran negeri Biruhasyapurwa; ia ingin membalas (h. 25)

IV.

Peperangan antara Balikasya dan Syaksya (h. 31)

1. Sipanjalma dikirim untuk menyelidiki negeri Indrapuranegara (h. 31)

2. Sipanjalma meracuni menteri dan hulubalang musuh; iameninggalkan surat tantangan (h. 40)

3. Sipanjalma mengundurkan diri ke negerinya (h. 49)

4. Sradal dan Kemendakata mengejar ke Biruhsyapurwa (h. 61)

5. Perang besar-besaran (h. 61)

V.

Rawana mendamaikan raja-raja (h. 93)

1. Rawana menemui Syaksya untuk usaha perdamaian (h. 93)

2. Indrajit diutus ke Baliksya (h. 96)

3. Perdamaian terlaksana (h. 126)

4. Rawana membawa saudara-saudaranya dan Jamumenteri ke Langkapuri (h. 136)

VI.

Kelahiran Sri Rama (h. 140)

1. Dasarata mendirikan negeri (h. 140)

2. Ia mendapat putri Mandudari, anak Mahabisnu; mereka kawin (h. 143)

3. Baliadari menyelamatkan Dasarata dan Mandudari (h. 146)

4. Mandudari melahirkan Sri Rama dan Laksmana; Baliadari melahirkan Berdana dan Citradana (h. 148)

5. Dasarata diselamatkan oleh Baliadari (h. 152)

VII.

Kelahiran Sita Dewi (h. 153)

1. Rawana datang meminta Mandudari; diberi Mandudari tiruan (h. 153)

2. Kutukan Kisuberisu (h. 159)

3. Dasarata mengunjungi Mandudari tiruan (h. 159)

4. Rawana dan Mandudari kawin (h. 163)

5. Sita Dewi lahir dan dibuang (h. 165)

VIII.

Perkawinan Sri Rama dan Sita Dewi (h. 168)

1. Sita Dewi ditemukan oleh Maharesi Kala (h. 172)

2. Sayembara Sita Dewi (h. 171)

3. Sri Rama dijemput oleh Maharesi Kala (h. 172)

4. Sri Rama membunuh Jagini dan Giaganda (h. 181)

5. Ia menang sayembara (h. 185)

6. Sri Rama mengusir Gagak Sura (h. 187)Sita Dewi disembunyikan (h. 190)

7. Perkawinan Sri Rama dan Sita Dewi (194)

8. Perkawinan Sri Rama dan Sita Dewi (h. 194)

IX.

Sri Rama, Sita Dewi, dan Laksmana menetap di hutan (h. 196)

1. Peperangan dengan empat anak raja (h. 196)

2. Sri Rama memutuskan tidak akan pulang (h. 204)

3. Kelahiran Hanuman dari Sri Rama dan Sita Dewi dengan perantaraan Anjani (h. 209)

4. Sri Rama membunuh Raksasa (h. 213)

5. Pemukiman di hutan (h. 214)

X.

Penculikan Sita Dewi (h. 216)

1. Rawana ingin mengalahkan matahari (h. 216)

2. Kematian Bergasinga oleh Rawana (h. 217)

3. Anak Surapandaki terbunuh oleh Laksmana (h. 20)

4. Perkelahian antara Laksmana dan Surapandaki (h. 222)

5. Rawana melarikan Sita Dewi (h. 232)

6. Catayu dikalahkan oleh Rawana (h. 234)

XI.

Pencarian jejak Sita Dewi (h. 214)

1. Kisah kerbau jantan yang dibunuh oleh anaknya (h. 214)

2. Baliraja mengalahkan kerbau Hamuk (h. 245)

3. Kekalahan dan pembuangan Sugriwa (h. 250)

4. Pertemuan Sri Rama dengan bangau (h. 254)

5. Pertemuan dengan Catayu (h. 258)

6. Pertemuan dengan raksasa (h. 263)

7. Pertemuan dan perjanjian dengan Sugriwa (h. 266)

8. Sri Rama dicobai (h. 269)

9. Kematian Baliraja oleh Sri Rama (h. 273)

XII.

Penyerahan kerajaan kepada Berdana dan Citradana (h. 281)

1. Dasarata meninggal (h. 281)

2. Berdana dan Citradana menjemput Sri Rama (h. 284)

XIII.

Perjalanan Hanuman menemui Sita Dewi (h. 290)

1. Sri Rama mencari orang yang dapat melompat ke Langkapuri (h. 290)

2. Hanuman dikenal oleh Sri Rama sebagai anaknya; ia sanggup melompat (h. 297)

3. Hanuman berangkat (h. 303)

4. Pertemuan dengan Maharesi Kipabara (h. 304)

5. Hanuman menyelundupkan cincin Sri Rama kepada Sita Dewi (h. 307)

6. Pertemuan dengan Sita Dewi (h. 309)

7. Hanuman merusak Langkapuri (h. 313)

XIV.

Persiapan pembuatan tambak (h. 329)

1. Dua orang hulubalang mencari tempat terdekat (h. 329)

2. Sri Rama berangkat (h. 336)

3. Pengaduan maharesi Sahagentala kepada Sri Rama (h. 338)

4. Peperangan melawan jayasinga (h. 346)

XV.

Pembangunan jembatan dan peristiwa-peristiwa selama itu (h. 383)

1. Pekerjaan dimulai (h. 383)

2. Perkelahian Hanuman dengan Nola Nila (h. 385)

3. Penemuan maulhayat (h. 389)

4. Sita Dewi ditipu oleh Rawana dengan berita Sri Rama sudah mati (h. 393)

5. Sagasadana memata-matai tentara Sri Rama (h.409)

6. Gangga Mahasura merusak tambak (h. 418)

7. Tambak selesai (h. 421)

XVI.

Permulaan Peperangan (h. 421)

1. Sri Rama berangkat menyeberang ke Langkapuri. (h. 421)

2. Peringatan Bibusanam dan penyeberangannya ke pihak Sri Rama (h. 426)

3. Peringatan Indrajit kepada Rawana (h. 435)

XVII.

Kematian Kumbakarna (h. 439)

1. Sepuluh hulubalang Rawana mati dalam peperangan (h. 439)

2. Kumbakarna dipanggil (h. 443)

3. Peringatan Kumbakarna (h. 446)

4. Kematian Kumbakarna oleh Sri rama (h. 449)

XVIII.

Kematian Badubisa (h. 461)

1. Hanuman diutus ke Rawana membawa surat (h. 461)

2. Badubisa dikeluarkan untuk melawan Sri Rama (h. 468)

3. Kematian Badubisa berkat petunjuk Bibusanam (h. 469)

XIX

Kematian Patala Maharayan (h. 479)

1. Patala Maharayan sanggup melawan Rawana (h. 479)

2. Peringatan Jamu Menteri (h. 482)

3. Penculikan Sri Rama (h. 486)

4. Pengejaran oleh Hanuman (h. 498)

5. Perang dengan Laguda Indra dan Sampa Wadini (h. 499)

6. Pertemuan dengan Niwarani (h. 505)

7. Kisah tamanta Gangga (h. 511)

8. Amiraba dibunuh; Periaban dirajakan (h. 519)

9. Sri Rama dibawa pulang (h. 520)

10. Patala Maharayan dibunuh oleh Sri Rama (h. 523)

XX.

Kematian empat anak Rawana (h. 529)

1. Mereka ditinggalkan oleh Indrajit (h. 530)

2. Mereka berperang dan mati (h. 532)

XXI.

Kematian Gangga Mahasura (h. 543)


XXII

Kematian Indrajit (h. 549)

1. Indrajit akan maju (h. 549)

2. Sri Rama bersiap diri dengan petunjuk Hanuman (h. 551)

3. Indrajit menyerang (h. 552)

4. Sri Rama kena panah; Anggada mengambil obat (h. 555)

5. Indrajit mau membunuh Sri Rama dengan diam-diam (h. 557)

6. Hanuman mengambil obat untuk yang mati (h. 565)

7. Pemujaan Indrajit digagalkan oleh Laksmana (h. 577)

8. Peperangan (h. 582)

9. Indrajit berpamitan kepada istrinya (h. 596)

10. Indrajit melawan Laksmana; kematiannya oleh Sri Rama (h. 605).

11. Peringatan Mandudari (618)

XXIII.

Kematian Mulamantani (h. 620)

1. Sejarah Mulamantani (h. 620)

2. Mulamatani dibujuk oleh Rawana (h. 624)

3. kematiannya oleh Sri Rama (h. 632)

XXIV.

Kemenangan Sri Rama atas Rawana (h. 648)

1. Peperangan (h. 648)

2. Laksmana kena panah Rawana (h. 655)

3. Hanuman memanggil obat (h. 656)

4. Ia mengiikat rambut Rawana dan Mandudari (h. 667)

5. Perang antara Sri Rama dan rawana (h. 672)

6. Hanuman menanyakan kematian Rawana kepada Sita Dewi (h. 690)

XXV.

Sri Rama jadi raja di Langkapuri (h. 690)

1. Sri Rama masuk kota (h. 690)

2. Sita Dewi membakar diri (h. 692)

3. Sri Rama menata negeri (h. 695)

4. Berdana dan Citradana datang (h. 703)

5. Perkawinan Kikuwi dan Bibusanam (h. 706)

6. Kunjungan Maharesi Kala (h. 709)

7. Pengungkapan rahasia kelahiran Sita Dewi (h. 710)

8. Berdana dan Citradana pulang (h. 715)

XXVI.

Pendirian negeri baru (h. 717)

1. Saran Bibusanam untuk mendirikan negeri (h. 717)

2. Pembangunan negeri idaman Daryapurenegara (h. 717)

3. Gambaran pemerintahan yang adil dan makmur (h. 725)

XXVII.

Pengusiran Sita Dewi (h. 730)

1. Sita Dewi hamil (h. 730)

2. Ia dipitnah oleh Kikuwi (h. 733)

3. Ia pergi ke Maharesi Kala (h. 736)

XXVIII.

Masa kanak-kanak Tilawi dan Gusi (h. 738)

1. Kelahiran Tilawi (h. 738)

2. Gusi diciptakan oleh maharesi Kala (h. 738)

3. Kepahlawanan mereka (h. 741)

XXIX

Sri Rama dan Sita Dewi rukun kembali (h. 749)

1. Sri Rama insaf bahwa Sita Dewi tidak bersalah (h. 749)

2. Penjemputan Sita Dewi (h. 750)

3. Laksmana ditangkap oleh Tilawi dan Gusi (h. 751)

4. Sri Rama dan Sita Dewi dikawinkan lagi dengan upacara kebesaran (h. 757)

5. Mereka pulang ke daryapuranegara (h. 759)

6. Gambaran negeri yang makmur dan bahagia (h. 760)

XXX

Sri Rama mengatur rakyatnya (h. 763)

1. Berdana dan Citradana dijemput (h. 762)

2. Perkawinan Tilawi dan Gusi (h. 764)

3. Hanuman tidak mau dikawinkan (h. 777)

4. Percakapan Laksmana, Berdana, dan Citradana mengenai Hanuman (h. 778)

5. Berturut-turut Sri Rama mengawinkan dan merajakan Hanuman Tugangga, Pariaban, Jambuana, Sugriwa, anila, Anggada, Anggata, Mahabiru, Karang, Ketula, dan janda-janda raksasa (h. 781)

6. Bibusanam tidak mau menjadi raja (h. 784)

7. Perkawinan anak-anakBerdana dan Citradana (h. 785)

XXXI.

Perkelahian Tilawi dan Hanuman (h. 787)

1. Tilawi kawin dengan anak Bibusanam (h. 787)

2. Hanuman menodai istrinya (h. 789)

3. Perang antara Tilawi dan Gusi melawan Hanuman (h. 792)

4. Pendamaian oleh Sri Rama (h. 796)

XXXII.

Pengunduran Sri Rama (h. 798)

1. Sri Rama membuat negeri tempat bertapa (h. 797)

2. Sri rama dan Sita Dewi bertapa dan ditunggui oleh Laksmana dan Hanuman.(h. 802)

3. Ciradana dirajakan di Aspahaboga (h. 800)

XXXIII.

Akhir hayat Sri Rama (h. 802)

1. Sri Rama memberi pelajaran kepada Tilawi dan raja-raja yang lain (h. 803)

2. Sri Rama wafat setelah empat puluh tahun bertapa (h. 806)




Berdasarkan Garis Besar HSR di atas, kita bisa melihat bahwa HSR VI merupakan permulaan cerita utama. HSR I –V merupakan sub-alur yang berfungsi untuk memperkenalkan Rawana yang nanti dalam hidup Rama akan memegang peranan yang penting. Pola semacam ini dijumpai berkali-kali dalam hubungan yang lebih sempit. HSR VI-IX memperlihatkan kejadian-kejadian yang membina ke arah pertemuan antara kedua tokoh utama; suatu tahap yang terutama merupakan perkembangan watak. Dalam HSR X terjadi paeristiwa yang menentukan jalannya cerita setelah sebelumnya peristiwa tersebut dibina dengan baik: Sita Dewi diculik; dan tugas Rama jelas, yaitu ia harus merebutnya kembali. HSR X-XXVI merupakan penyelesaian tugas itu. Titik puncak terjadi pada HSR XXIV. Setelah itu alur mejadi sangat lemah karena cerita hanya menyoroti perkembangan pribadi Sri Rama, yaitu dalam HSR XXV-XXVI yang merupakan masa konsolidasi pertama bagi kedudukan Rama sebagai raja. Sesungguhnya di sini sudah terjadi penyelesaian yang memuaskan, tetapi kegoncangan timbul dengan pembuangan Sita Dewi. Seperti layaknya seorang raja, Sri Rama dapat juga memperbaiki kesalahannya. Pengalaman pahit serta masa konsolidasi yang kedua lebih mengokohkan kedudukannya dan mematangkan budinya sehingga petualangan Hanuman pada HSR XXXI dan XXXIII merupakan penutup yang pantas dari hidup seorang raja yang penuh kebaktian terhadap tugasnya sebagai pelindung alam.

Tokoh dan Perwatakan

Kisah dalam HSR diceritakan dengan gaya diaan, dan si penutur adalah sebagai the third person point of view. Pengarang bertindak sebagai orang yang menceritakan apa adanya secara objektif. Para Pelaku yang diceritakan sangat banyak. Di antara para pelaku tersebut yang bisa dianggap sebagai tokoh cerita adalah:

1) Sri Rama, seorang yang secara fisik sangat sempurna. Akan tetapi, dari segi watak sesekali diceritakan berwatak tidak seperti seorang pahlawan. Ia anak Dasarata, cicit Nabi Adam, AS(?) yang dianugerahi Dewata Mulia Raya (Allah Swt) kerajaan, kekuatan, kekuasaan yang tiada bandingnya.

2) Rawana, seorang raja yang pada awalnya memiliki sifat agung sebgai raja. Akan tetapi, kemudian ia menjadi sangat sombong, serakah, kasar, kejam, dan bengis, Ia merupakan tokoh antagonis Sri Rama.

3) Hanuman, seorang anak Sri Rama dan Sita Dewi yang dilahirkan secara tak lazim melalui Anjani. Dia juga sebagai orang kepercayaan Sri Rama dalam melawan Rawana. Dia digambarkan sebagai seekor kera sakti yang terampil, penuh akal, dan tipu daya.

4) Laksmana, adik kandung dan sekaligus abdi Sri Rama. Hampir selama hidupnya, ia mengabdikan diri kepada Sri Rama.

5) Sita Dewi, istri Sri Rama. Ia seorang istri yang ideal model kuno, setia, pasif. Ia tahu akan kewajiban Sri Rama sebagai raja dan ksatria. Dia juga sangat tahu kewajibannya sebagai seorang seorang istri.

Tokoh-tokoh lainnya yang bisa dianggap sebagai pelaku cerita yang tidak terlalu penting, yaitu: Dasarata, Mandudari, Maharaja Kala, Citradana, Berdana, Gagak Sura, Catayu, Sugriwa, Kikuwi, Bibusanam, Tilawi, Gusi, Hanuman Tugangga, Pariaban, Janbuana, Anila, Anggada, Anggata, Mahabiru, Karang, dan Ketula (pelaku cerita pembatu Sri Rama); Surapandaki, Sagasadana, Gangga Mahasura, Indrajit, Kumbakarna, Badubisa, Patala Maharayan, Laguda Indra, Sampa Wadini, Mulamatani (pelaku-pelaku pembantu Rawana); Bermaraja, Raksagandi, Citrabaha,Naruna, Syaksya, Balikasya, Sipanjalma, sardal, Kemendakata, dan Jamu Menteri, Baliadari, Kisuberisu, Jagini, dan Gigandini (sebagai pelaku cerita yang netral).

Perwatakan para tokoh dilakukan dengan cara penjelasan langsung oleh pengarang, prilaku tokoh tersebut, dan dialog tokoh-tokoh lain.

Pengarang memaparkan secara lengsung watak tokoh cerita, misalnya:

Adapun anak baginda yang bernama Sri Rama itu pun besarlah, terlalu maha elok rupanya, dalam alam dunia ini seorang pun tiada sebagainya. Syahdan lagi perkasya dan berani. Datanglah usianya baginda kepada tujuh tahun tahun Maka terlalu sekali nakal. (HSR: 149).

Dari awal pemunculannya, Sri Rama ditampilkan sebagai seorang yang memang dipastikan akan menjadi penguasa dunia. Dari pihak ibunya, ia anak dasarata, cucu Maharaja Bisnu (HSR: 264, 278), sedangkan dari ayahnya ia cicit nabi Adam a alaihissalam (HSR: 140). Baik dari sudut agama Hindu maupun Islam ia amat berhak menjadi raja dunia. Ini dikemukakan oleh pengarang secara langsung.

Pemaparan tokoh Sri Rama dilakukan juga melalui prilakunya atau peranannya. Hal ini tampak misalnya dalam HSR VIII-IX yang menggambarkan bagaimana gagah dan saktinya Sri Rama. Demikian juga pada HSR XI-XII, XVI-XXIV. Pada HSR XII Sri Rama tampak prilakunya sebagai seorang guru yang mengajarkan ajaran raja adil. Mulai HSR XII ini tampak ada perubahan yang substantif dalam watak Sri Rama. Sebelumnya ia berperan sebagai pahlawan yang bertindak; sekarang ia menjadi tokoh raja yang memerintah dan dijaga hambanya.

Demikianlah, pengarang memberikan gambaran watak Sri Rama hampir seluruhnya dilakukan melalui prilakunya. Cara demikian juga dilakukan oleh pengarang dalam menggambarkan watak Rawana (HSR I, V, X, XVI-XXIV). Dalam HSR X tampak prilaku Rawana yang sangat sombong sehingga ingin mengalahkan matahari. ”Aku hendak mengalahkan matahari. Sampaikan aku ke langit.” (HSR, 217).

Di bagian tertentu yang terbatas, misalnya pada HSR XIX, watak Sri Rama digambarkan melalui dialog tokoh lain. ”jikalau dipanah tiada membunuh dia, jika ditikam dengan senjata tiadakan membunuh Sri Rama, jika dibakar tiada hangus, jika dibuangkan ke air itu pun tiada ia mati, jika kamu beri makan racun pun tiada ia mati” (HSR: 487-488).

Latar

Kisah Sri Rama berlatarkan kerajaan-kerajaan yang tidak secara eksplisit disebutkan di mana persisnya. Bahkan nama beberapa kerajaan tidak disebutkan. Nama-nama kerajaan yang tersebut dalam kisah ini yaitu kerajaan Langkapuri, Inderapuranegara, Biruhsyapurwa, Mandupuranegara, Darwatipurwa, Daryapuranegara, Lakurkatakina, Asphaboga. Berdasarkan asal usul cerita HSR, diperkirakan nama-nama kerajaan itu berasal dari daerah India.

Di samping nama-nama kerajaan, HSR juga menyebutkan nama tempat, yaitu bukit Serandib. Lokasi persisnya tempat tersebut juga tidak jelas. Kemungkinan juga berasal dari dari India. Selain itu disebutkan beberapa tempat lain sebagai latar khusus peristiwa, yaitu bumi, hutan, danau, lautan, dan langit/udara (angkasa), taman dan kota. ”Maka tatkalala Catayu pun sampailah ke bumi maka ia telentang-lentang ke langit lalu berkata, ”Ya tuhanku, pertemukan kiranya hambamu dengan Sri Rama.” (HSR: 238).

Berkenaan dengan latar waktu, dalam HSR ini tidak banyak yang bisa dikemukakan. HSR memberi kesan bahwa itu tidak merupakan faktor dalam cerita. Kejadian-kejadian dalam cerita diurutkan tanpa suatu petunjuk kapan terjadi, mana yang yang terjadi lebih dahulu, mana yang bersamaan, dan mana yang kemudian.

Unsur waktu yang bisa diperoleh dari kisah ini adalah waktu-waktu khusus kejadian suatu peristiwa cerita, waktu sehari-hari seperti pagi, siang, malam. Selain itu, kalaupun ada hanyalah penjelas lamanya suatu peristiwa terjadi. Berikut adalah sebagai contohnya:

Maka dengan kodrat Allah subhana (hu) wa taala itu Nabi Adam pun diturunkan Allah taala dari dalam syorga, berapa lamanya dalam dunia. Maka sekali peristiwa Nabi Adam alaihissalam berjalan-jalan pada waktu subuh. Maka tatkala itu Nnabi Adam pun bertemu dengan Rawanapertapa itu, kakinya digantungnya ke atas, kepalanya ke bawah. Maka Adam bertanya, ”Hai Rawana ngapa engkau melakukan dirimu demikian dan berapa lama sekarang?” Maka sahut Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, lama hamba sekarang baharu dua belas tahun pertapa demikian ini.” (HSR: 4)

Perlu dikemukakan di sini bahwa rupanya bagi pengarang bilangan dua belas merupakan angka kesayangan (Ikram, 1980:22). Rawana bertapa dua belas tahun (HSR: 3), menjadi raja di dalam negeri keindraan, di dalam bumi, di laut masing-masing selama dua belas tahun (HSR: 8-9). Sita Dewi kawin waktu dua belas tahun (HSR: 171), ditawan Rawana dua belas tahun (HSR: 615), juga waktu dibuang selama dua belas tahun (HSR: 749).

Adapun latar sosial yang tampak dalam kisah ini adalah keadaan masyarakat di lingkungan istana kerajaan. Hal ini tampak pada status para pelaku yang terkelompokkan atas paduka raja yang disembah dan kawula yang mengabdi.

Maka hari pun malam. Maka Bibusanam menghadap Sri Rama. Maka titah Sri Rama pada maharaja Sugriwa dan maharaja Bibusanam dan Hanuman, Anila, Anggada dan hanuman Tugangga, Anggata, Mahabiru, Nola, Nila, Karang, Ketula dan segala raja-raja dan pada segala hulubalang tiga puluh tiga itu, ”Malam ini kita berjaga karena kita hendak menganugerahi ayapan akan segala ra’yat.” (HSR: 557).

Seluruh kawula selalu mengabdikan hidupnya bagi kepentingan sang raja sebagai tuannya.

Maka kata maharaja Bibusanam, ”Jikalau tuan hamba hendak berdatang sembah pun nanti hari siang karena Sri Rama lagi beradu. ”Maka Indrajit (sangat) ditegur oleh maharaja Bibusanam maka Indrajit pun undur daripada tempat itu. Maka maharaja Bibusanam pun tahulah akan Indrajit. Maka oleh maharaja Bibusanam dihunusnya senjatanya maka ia turun ke tanah mendapatkan Indrajit. Maka ditegurnya Indrajit katanya, ”Mengapatah maka tuan hamba selaku ini menghilangkannnn nama segala laki-laki? Adapun Sri Rama dan Laksmana lagi beradu. Jikalau tuan hamba hendak bertikam marilah dengan hamba karena hamba seorang juga yuang jaga.” (HSR: 560).

3. Bahasa Hikayat Sri Rama

Hikayat Sri Rama sebagai bagian dari sastra Melayu, menggunakan bahasa Melayu sebagai medianya. Dalam mengisahkan hikayat ini, pengarang menggunakan bahasa seperti orang yang menceritakan sejarah. Apa yang diceritakan dan digambarkan dari tokohnya adalah apa-apa yang teramati serta eksistensi kejiwaaan yang tersimpulkan dari prilaku para tokoh. Jadi, bahasa digunakan sebagai alat pemaparan (ekspositoris). Bahasa yang digunakan berkesan bahasa lugas, objektif. Bukan bahasa artifisial yang dibuat-buat demi keindahan cerita. Bahkan untuk menggambarkan watak tokoh yang luar biasa sekali pun, pengarang lebih memilih kata-kata pembanding yang terbatas.

Adapun anak baginda yang bernama Sri Rama itu pun besarlah, terlalu maha elok rupanya, dalam alam dunia ini seorang pun tiada sebagainya. Syahdan lagi perkasya dan berani. Datanglah usianya baginda kepada tujuh tahun Maka terlalu sekali nakal. (HSR: 149).

Dalam hal penggunaan kosakata, HSR cenderung menggunakan kata-kata yang sederhana, tanpa banyak variasi atau perbedaan nuansa. Kata henan, misalnya, digunakan belasan kali dalam pengertian yang berbeda-beda; misalnya, menunjukkan ’heran’ (HSR: 42), ’kagum’ (HSR: 36), ’tertegun’ (HSR: 143), ’bingung’ (HSR: 202), ’sedih’ (HSR: 677), prihatin’ (HSR: 658). Demikian pula halnya dengan sukacita dan dukacita. Kesedihan yang sangat mendalam pada suatu adegan dinyatakan dengan kata-kata sebagai berikut: Maka maharaja Rawana kembali ke istananya dengan dukacitanya .... empat puluh ari empat puluh malam dalam percintaan ” (HSR:461) atau dengan menangisnya tokoh-tokoh, umpamanya, Laksmana ketika melihat Sri Rama telah diculik (HSR: 499).

Dalam HSR, unsur bahasa selain sebagai media untuk mengantarkan cerita, juga berfungsi sebagai pembentuk struktur cerita. Hal ini ditandai dengan penggunaan kalimat-kalimat tertentu sebagai judul dan pengawal episode. Dalam episode-episode awal peperangan mulai HSR XIII sampai dengan HSR XXXII tidak dipisah-pisahkan oleh kalimat-kalimat yang menandakan episode baru. Namun, Kematian Indrajit dalam HSR XXII dan kematian Mulamatani, HSR XXIII, diawali oleh semacam judul yang di sini digunakan untuk menekankan kepentingan peristiwa tersebut. Pemasangan kalimat-kalimat judul di sini selain sebagai pengantar episode baru, juga merupakan upaya penonjolan suatu kejadian, walaupun kecil. Selanjutnya, episode-episode yang berjudul ialah HSR I, II, III, V, VI, X, XI, XII, XXIII, XXVII, XXIX, dan XXXI dua di antaranya mendapat tekanan khsuus dengan ditandai oleh kata-kata ”Ini hikayat ...” . kata-kata ini tidak digunakan pada episode-episode lain. Pada dua puluh episode lainnya kalimat pertama langsung memasuki cerita, meskipun diantar juga dengan kata-kata khusus seperti hata, kalakian, berapa lamanya, alkisah, atau kombinasi kata-kata itu. Acapkali hanya dengan kata yang lebih umum, seperti maka, sudah itu, dan sebagainya.

Hal yang menarik dari penggunaan bahasa Melayu dalam hikayat ini, setidaknya bagi penulis yang tidak pernah menggunakan (mengenal) bahasa tersebut adalah bahwa dalam kisah ini sangat sering digunakana kata maka. Berikut penulis kemukakan dua petikan:

Maka beberapa lamanya maka putri itu pun bunting datang kepada masanya akan beranak. Maka jadilah anak maharaja rawana seorang laki-laki terlalu baik rupanya dan maha besar panjang sekali. Maka dinamai maharaja Rawana Indrajit. Apabila anak raja itu amarah maka keluar kepalanya tiga dan tanganya enam. Setelah datang umurnya kepada dua belas tahun usianya maka anaknya itu dirajakan oleh maharaja Rawana (pada negeri) pada negeri keinderaan. Sudah itu maka maharaja Rawana pun masuk ke dalam bumi maka ia jadi raja dalam bumi. maka segala raja jin dan sjaitan dalam bumi itu semuhanya dalam hukumnya. Maka maharaja Rawana beristri mengambil anak raja dalam bumi bernama putri Pertiwi Dewi. Dengan demikian berapa lamanya maka beranak seorang laki-laki anaknya itu terlalu elok rupanya lagi gagah (maka) [maka] dinamai baginda anak itu Patala Maharayan. Maka datang kepada dua belas tahun usia Patala Maharayan maka dirajakan ayahnya dalam bumi ... (HSR: 8-9).

Maka Patala Maharayan pun datang. Maka dilihatnya istana Sri Rama tiada kelihatan karena roma Hanuman. Maka ia naik ke udara maka dilihatnya roma Hanuman sempai ke uadara, tiada ia beroleh masuk. Maka patala maharayan pun turun ke bumi lalu masuk ke dalam bumi maka dikelilinginya bumi dilihatnya roma Hanuman terus ke bawah bumi. Maka ia keluar dari dalam bumi maka iamenjadikan dirinya hama masuk ke dalam roma Hanuman. maka dicaharinya istana Sri Rama. Maka Patala Maharayan pun bertemu dengan istana Sri Rama. Maka dilihatnya para hulubalang berkawal, setengah mengelilingi istana Sri Rama, setengah di bawah istana Sri Rama. Maka Patala Maharayan pun pergi. Maka .... (HSR: 492).

4. Amanat Hikayat Sri Rama

Menurut Ikram (1980: 9), cerita Melayu, khusunya yang tertulis, tidak lepas dari sifatnya sebagai alat pengajaran. Dalam HSR hal ini tampak pada bagian tertentu yang beberapa kali muncul, dapat dieknalnya sebagai ’Leitmotif’. ’Leitmotif’ ini merupakan perumusan dari ajaran etika yang dikemukakan oleh cerita sebagai keseluruhan, yang terkandung dalam segenap unsur ceritanya. Untuk pertama kali ’Leitmotif’ ini muncul dalam dialog Nabi Adam dan Rawana (HSR: 5-6). Melihat perjuangan Rawana yang begitu gigih untuk mencapai kemuliaan dan kebesaran, Nabi Adam meluluskan permohonannya dengan memohonkan kepada Allah dengan syarat Rawana harus menjadi raja yang baik.

”Sekarang engkau dijadikan Allah taala raja kepada keempat negeri. Bukan barang-barang kebesaran kauperoleh karena itu kepada seseorang pun belum ada demikian dianugerahkan Allah taala; baharulah kepadamu juga jikalau dapat engkau baik kerajaanmu dan ingat engkau menghukumkan karena Allah subhanahu wa taala, karena dipinjaminya juga kerajaan itu dan berkata benar / dan jangan kaubinasakan hati ra’yatmu dan teguh-teguh negerimu dengan kelengkapan dan segala senjatamu dan kasihi segala rakyatmu dengan hukum sebenarnya dan jangan kaukerjakan barang yang dilarangkan Allah taala. Sekarang engkau hendaklah berjanji engkau dengan aku apabila kauperbuat pekerjaan yang salah atau rakyatmu berbuat pekerjaan yang salah keuperkenankan dan tiada kauhukumkan dengan hukum sebenarnya dengan segala itu juga engkau dibinasakan Allah subhanahu wa taala. Jika engkau mau berjanji demikian, maka aku mau memohonkan kehendakmu itu kepada Allah karena segala raja-raja dunia semuhanya raja pinjaman. Jangan kamu takabur karena kerajaan kamu dan kebesaran kamu semuhanya semuhanya pinjaman juga. Jangan kamu seperti aku inilah keluar dari dalam syorga sebab tiada menurut titah / Tuhanku dan melalui firmanNya. ... (HSR: 5-7).

Amanat yang hampir sama dengan yang dikemukakan Nabi Adam di atas, antara lain dikemukakan pula oleh Jamumenteri ketika ia akan diangkat menjadi raja. Pengangkatan itu ditolaknya karena ia merasa tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratannya (HSR: 18-19). Dari dialog penolakannya sebagai raja, Jamumenteri mengemukakan tujuh persyaratan sebagai raja. Tidak layak menjadi raja jika seseorang tidak memenuhi tujuh persyaratan tersebut. Jika dianalisis dan disusun kembali maka diperoleh tujuh sifat raja yang ideal, yaitu (1) kearifan, (2) keadilan, (3) kasih, (4) sifat-sifat lahiriah yang menarik, (5) keberanian demi harga diri, (6) keahlian perang, dan (7) pertapa.

Berikut adalah sekilas penjelasan amanat-amanat tersebut.

1) Kearifan

Arif diartikan tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk. rasa moral yang tinggi seharusnya melandasi semua pikiran dan tingkah laku raja, bahkan harus menjadi kepribadiannya. Dalam HSR digambarkan, karena kurangnya sifat arif itu raja dapat berbuat hal yang akibatnya mencelakakan atau membuat sengsara orang. Rawana yang memperturutkan hawa nafsunya terjatuh dalam perbuatan yang tidak dapat dibenarkan: menculik Sita Dewi, dan keras kepala, menolak mengembalikan Sita Dewi bahkan berniat melawan Sri Rama. Dalam hubungan ini disarankan agar dipertimbangkan baik buruknya suatu perbuatan sebelum dilakukan. ”Itulah segala raja-raja hendak dengan budi bicara agar supaya ia sempurna dalam dunia” (HSR: 243), karena ”manusia tiada pernah menyesal dahulu, kemudian juga ia menyesal”. (HSR: 436, 438).

2) Keadilan

Dalam HSR keadilan sering disebut bersamaan dengan kasih. Dapatlah ditafsirkan bahwa keadilan berdasarkan kasih karena dalam hubungan ini raja adalah penguasa, sedangkan rakyat yang tidak berdaya ada dalam naungannya (HSR: 243, 285).

3) Kasih

Sri Rama menasihat kedua saudaranya, ”Jangan tiada mengasihi segala ra’yat yang teraniaya dan mengasihi segala hamba”. (HSR: 286). Sifat ini mendapat penekanan yang utama dalam HSR. Raja harus merasa sayang kepada rakyat dan umat manusia pada umumnya; janganlah ia aniaya kepada siapa pun juga. Rawana telah melanggar hukum ini ketika melarikan Sita Dewi tanpa ”memeliharakan rasa segala hambanya”, begitu kata Catayu (HSR: 235).

4) Sifat-sifat lahriah yang menarik

Anggapan unsur ini penting bagi seorang raja bisa terlihat dari gambaran beberapa raja. Maharaja Dasarata dikatakan bahwa ia ”terlalu baik parasnya” (HSR: 140). Sri Rama digambarkan sebagai ”terlalu amat elok rupanya, dalam alam dunia ini seorang pun tiada sebagainya” (HSR: 149). Demikian pula Tabalawi dikatakan ”terlalu elok rupanya” (HSR: 738).

5) Keberanian demi harga diri

Raja harus disegani oleh sesamanya. Jika tidak, percumalah martabatnya yang tinggi. Raja wajib berani bertindak jika merasa terhina. Ini dikemukakan oleh Baliksya ketika, untuk menjaga namanya sebagai raja, ia hendak membalas kekalahan yang pernah diderita keluarganya dari tangan keluarga raja Syaksya di masa silam; hanya dengan demikian seorang raja dapat mengharapkan penghargaan dari sesama raja (HSR: 28-29).

6) Keahlian perang

Dalam ajaran mengenai perang dan segala sesuatu yang bertalian dengan keprajuritan menduduki tempat yang penting dalam ’Leitmotif’ ini. Keahlian perang tidak terbatas pada pemainan senjata, tetapi mencakup juga segala pikiran yang melatarbelakangi peperangan dan tingkah laku yang bersumber padanya.

Bagi raja, termasuk laki-laki dalam peranannya sebagai prajurit, sebagai hulubalang, intinya dikemukakan oleh Bermarajadiraja di depan mayat anaknya yang tewas melawan Sri Rama, ”Baik engkau mati dengan nama laki-laki daripada akan menyembah sama raja-raja yang dijadikan Dewata Mulia Raya dalam dunia” (HSR: 215).

7) Pertapa

Sifat pertapa adalah yang paling menentukan bagi perangai dan sepak terjang raja. Seorang raja yang selalu berkecimpung dalam kemewahan dan kekuasaan jelas sangat terbuka jiwanya bagi rasa takabur, tinggi hati, dan lupa. Dengan pertapaan, yang berarti hidup dalam segala kekurangan, keprihatinan, dan tirakat, kata hikmat tujuh perkara rahasia [akan] membukakan dirinya”; maksudnya ia akan mencapai kearifan yang begitu diperlukan dalam jabatannya (HSR: 19). Ia akan menyadari keterbatasannya sebagai manusia serta menginsafi segala kekuasaannya dan kekayaannya itu tidak kekal; semuanya bisa hilang begitu saja. Tambahan pula segala kekuasaan dan kekayaan itu hanyalah pinjaman dari Dewata Mulia Raya yang justru membawa beban berat sehingga tidak pada tempatnya mereka takabur dan lupa (HSR, 5-6, 203-204). Kealpaan ini dapat dihindari dengan menjauhkan diri dari kesenangan dunia. ”Jangan engkau alpa dengan permainan”, tutur Sri Rama kepada anaknya Tilawi (HSR: 806). ”Jangan lupa lalai dalam kerajaan” (HSR: 285). ”Dunia ini tiada akan sungguh”, semua akan hilang musnah kecuali nama. ”Adapun nama yang baik itu tiada binasa lagi kekal selama-lamanya dalam dunia dan akhirat”, pesan Sri Rama kepada adik-adiknya (HSR: 289).

Pada seorang raja, keenam sifat yang lain akan lebih mantap dan pasti dengan terlaksananya sifat yang terakhir. Begitulah amanat terpenting yang diajarkan HSR dan dibawakan oleh Sri Rama dan tokoh-tokoh lain.

Beberapa amanat tersebut merupakan amanat utama. Ada beberapa hal lain sebagai amanat penunjang, yaitu:

1) Contoh kerajaan

Untuk melengkapi HSR sebagai suatu teladan bagi para raja ada pula dikisahkan kebijaksanaan Sri Rama dalam mendirikan suatu kerajaan (HSR: 718-730), mulai dari bentuk ideal sebuah keraton dengan tembok pertahanannya dan perabotannya semapi kepada cara mencari penduduk yang serba cakap untuk isi negeri.

2) Hamba setia

Sifat ini dapat dilihat sebagai penopang yang kokoh bagi wibawa raja. Seiring dengan ketinggian martabat raja, HSR mengajarkan kepatuhan mutlak kepada semua orang yang mengabdi raja. Ini bukan berarti suatu kepatuhan yang buta; justru sebaliknya, kepatuhan yang disertai usaha agar tuannya selalu di jalan yang benar. Hanuman merumuskan penafsiran tentang hamba yang baik sebagai berikut: ”... manikam yang tiada terhargakan itu menteri yang budiman, yang adil acaranya, dan hamba yang baik menjadikan kerja tuannya ... (HSR: 780).

5. Aspek Mimesis Hikayat Sri Rama

Karya seni merupakan dokumen sosial (Teuw, 2003:184). Hal tersebut bermakna bahwa karya seni tidak lepas dan mencerminkan dunia nyata, masyarakat tempat karya seni itu diciptakan. Pada proses penciptaannya, karya seni tidak dapat lepas dari kehidupan sosial sebagai sumber inspirasi. Demikian juga, makna karya seni tersebut, tidak bisa lepas dari penilaian berdasarkan unsur-unsur kenyataan sosial yang ada.

Pendapat tersebut didasari oleh pandangan Plato. Menurut Plato, tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni: seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakiki kenyataan itu. (Teuw, 2003: 181). Selanjutnya, Teuw menjelaskan, bahwa dalam puitika Cina umumnya aspek mimetik ditekankan: seni, sastra harus meneladani tata semesta, kebenaran kesejahteraan dan kebenaran kemanusiaan. Ciptaan dalam arti rekaan murni tidak dianggap seni (Teuw, 2003:183). Jadi jelaslah, sebagai karya seni, sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan kenyataan sehari-hari. Sebagaimana, dikemukakan Wellek (1990: 79-153) bahwa ada 4 faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yakni: (1) biografi pengarang, (2) psikologis (proses kreatif), (3) sosiologis (kemasyarakatan), sosal budaya masyarakat, dan (4) filosofis.

Demikian juga halnya dengan Hikayat Sri Rama (HSR). Pemaknaan hikayat ini bisa dipahami dengan meninjaunya dari aspek mimesisnya.

Berkenaan dengan hal itu, menurut Ikram (1980: 1) HSR tidak hanya disenangi pada masa kini, tetapi juga pada masa lampau. Dari zaman ke zaman cerita ini tidak pernah lepas dari angan-angan nenek moyang kita. Dalam bentuk sastra masih tersimpan antara lain Kakawin Ramayana berbahasa Jawa Kuno; Hikayat Sri Rama berbahasa Melayu; Rama Keling, Serat Kanda, dan Serat Rama gubahan Yasadipura dalam bahasa Jawa Baru. Dalam bentuk pahatan batu, kisah Rama tersimpan pada relief-relief candi Prambanan dan Panataran. Di Bali pun pengaruhnya terasa dan tersimpan dalam berbagai bentuk. Semuanya ini meliputi kurun waktu seribu tahun lebih.

Secara umum diketahui, bahwa cerita Sri Rama berasal dari India. Di tanah asalnya kisah Sri Rama terdapat dalam berbagai bentuk dengan berbagai bahasa daerah; berulang-ualng diolah sejak beberapa abad sebelum Masehi sampai zaman modern. Di antaranya yang paling terkenal dan yang dianggap baku ialah Ramayana karangan Walmiki.

Di Indonesia, kisah Rama ini menarik perhatian beberapa orang peneliti, antara H. Kern (1900), Juynboll (1922, 1936), Poerbatjaraka (1940), Manomohan Gosh (1936), Hooykaas (1958). Khusus mengenai HSR sudah diteliti sejak awal, antara lain oleh Roorda van Eijsinga (1843), Maxwell (1886), Shellabear (1915), Gerth van Wijk (1891), Winsteadt (1929) dan Overbeck (1933) (Ikram, 1980:1-2).

Berdasarkan metode penelitian struktur cerita yang dikembangkan oleh Propp dalam telaahnya mengenai dongeng rakyat Rusia, Ikram (1980) menganalisis HSR berdasarkan pendekatan sinkronis. Menurut Ikram, cara-cara tersebut dapat diterapkan juga pada sastra Melayu Lama karena keduanya memiliki banyak ciri yang serupa (Ikram, 1980: 5). Berkenaan dengan aspek mimesis, sangat sedikit yang dikemukakannya, meskipun diekmukakannya pula bahwa ”cipta sastra adalah hasil daripa kumpulan paham serta konvensi yang dianut oleh masyarakat yang menghasilkan sastra itu pada suatu kurun waktu tertentu”.

Sebagai hasil karya seni manusia, HSR tetap saja mencerminkan kehidupan masyarakat, paling tidak pada aspek-aspek tertentu. Menurut pengamatan penulis, dalam HSR, tercermin aspek kehidupan nyata antara lain latar kehidupan sosial yang melatari kisah ini, alam fisik, alam khayali (metafisik), agama, dan budaya.

HSR yang diteliti oleh Ikram (1980) ini didasarkan pada kisah Rama yang ada pada Naskah Laud. Kisah ini tergolong naskah Melayu tertua. Jika naskah ini dibeli oleh Laud pada tahun 1633, sebagaimana tertulis pada catatan kaki naskah, maka naskah ini merupakan penanggalan yang palin awal dari naskah Rama Melayu (Ikram, 1980: 72). Naskah tersebut memiliki ketebalan 807 halaman.

Berdasarkan identitas naskah tersebut, HSR ini diciptakan pengarangnya sebelum abad ke-15 atau ke-16. Pada kurun waktu itu, masyarakat dunia, sedang dikuasai oleh penguasa-penguasa berstatus raja. Wajarlah jika HSR ini berlatar sosial masyarakat di sekitar kerajaan (istana centris). Tidak mengherankan jika kehidupan sosial yang digambarkan adalah kehidupan masyarakat feodal, yang terdiri dari masyarakat umum yang berstatus sebagai abdi (kawula) di satu sisi, dengan kelompok penguasa yang bestatus sebagai tuan. Dari dua kategori masyarakat cerita, yang dominan, bahkan hampir selamanya, berperan adalah kelompok tuan, pembesar kerajaan (raja-raja, hulubalang, dan kalangan istana lainnya), masyarakat kawula hampir tidak pernah diceritakan.

Aspek latar cerita lain kisah ini adalah latar fisik cerita. Dalam kisah ini yang diceritakan adalah istana kerajaan, medan peperangan, kota kerajaan, hutan, angkasa, dan lautan. Dai aspek-aspek fisik tersebut yang paling banyak menjadi latar cerita adalah istana kerajaan. Sebagian besar peristiwa yang terjadi pada kisah ini berlatarkan istana kerajaan.

Sebagai cerita lama, yang masyarakatnya menganut kepercayaan terhadap dewa-dewa, maka dalam kisah ini banyak kejadian-kejadian yang melampaui batas akal pikiran manusia saat ini yang dilakoni oleh tokoh-tokoh khayali atau tokoh metafisik. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain,

Maka dengan kodrat Allah subhana (hu) wa taala itu Nabi Adam pun diturunkan Allah taala dari dalam syorga, berapa lamanya dalam dunia. Maka sekali peristiwa Nabi Adam alaihissalam berjalan-jalan pada waktu subuh. Maka tatkala itu Nabi Adam pun bertemu dengan Rawana pertapa itu, kakinya digantungnya ke atas, kepalanya ke bawah. Maka Adam bertanya, ”Hai rawana ngapa engkau melakukan dirimu demikian dan berapa lama sekarang?” Maka sahut Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, lama hamba sekarang baharu dua belas tahun pertapa demikian ini.” Maka kata Nabi Adam: ”Hai Rawana apa juga engkau pohonkan kepada Allah subhanahu wa taala engkau menghalkan dirimu demikian ini?” Maka sembah Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, jikalau dapat kiranya hamba pohonkan anugerah Allah taala yang hamba kehendaki itu, maka mau hamba bersembahkan diakepada tuan hamba” Maka sabda Nabi Adam, ”Hai Rawana kaukatakanlah yang kehendak hatimu itu, kudengar. Mudah-mudahan dapat kupohonkan kepada Allah subhanahu taala. ”Maka kata Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Adam yang kehendak hati hamba itu jikalau dapat kiranya hamba pohonkan empat kerajaan kepada / empat tempat. Suatu kerajaan dalam dunia, kedua kerajaan pada keinderaan, ketiga kerajaan di dalam dalam bumi, keempat kerajaan di dalam laut”. Maka sahut Adam alaihissalam, ”Jikalau engkau mau berjanji-janjian dan teguh-teguh pada katamu, mau aku mohonkan kehendakmu itu kepada Allah taala” Maka sembah Rawana, barang janji tuan hamba hamba turut tiada hambasalahi lamun kehendak hamba ini jadi hamba peroleh.” Maka ujar Nabi Adam alaihissalam, ”Sekarang engkau dijadikan Allah taala raja kepada keempat negeri. Bukan barang-barang kebesaran kauperoleh karena itu kepada seseorang pun belum ada demikian dianugerahkan Allah taala; barulah kepadamu ... (HSR: 4-5)

Adapun dihikayatkan orang yang empunyai cerita hikayat ini setelah sudah Rawana dibuangkan ayahnya ke bukit Serandib maka Citrabaha pun beranak tiga orang. Seorang bernama Kumbakarna, mulanya jadi sepuluh hasta tingginya tiga hasta lebar dadanya, rupanya menurut rupa nenenya maharaja Datikawaca raja raksyasya. Hata kalakian datang kepada dua belas tahun usianya. Kumbakarna jika ia tidur maka ia jaga, tiga bulan lamanya jaga, siang malam makan kumbakarna itu, tigapuluh tempayan air sekali diminum Kumbakarna. ... (HSR: 15)

Dua kejadian tersebut merupakan contoh kejadian yang menurut hemat penulis, tidak bisa diterima akal sehat. Berikut ini adalah ringkasan kejadian-kejadian sejenis.

¨ Maharaja Dasarata menemukan putri yang sangat cantik yang sedang duduk di atas parasana buluh betung yang ditebasnya. Sebelumnya, ketika ditetak (ditebas) oleh abdinya, betung tersebut selalu tumbuh kembali. Putri tersebut kemudian dinamainya Mandudari dan dinikahinya (HSR: 143)

¨ Kedua istri Maharaja Dasarata, Mandudari dan Baliadari, tidak juga punya anak. Karena itu, Dasarata meminta anak kepada Maharesi Dewata. Diberi empat biji geliga. Dua biji diberikan kepada mandudari, dia biji diberikan kepeda Baliadari. beberapa bulan kemudian, kedua istrinya masing-masing melahirkan dua orang anak. Mandudari melahirkan Sri Rama dan Laksmana; Baliadari melahirkan Berdana dan Citradana (HSR: 148)

¨ Mandudari menciptakan Mandudari tiruan ketika dia diminta oleh Rawana kepada suaminya, Dasarata. Mandudari tiruan itu diciptakannya dari daki yang dipujanya (HSR: 59).

¨ Hanuman anaka Sri Rama dan Sita Dewi melalui perantara Dewi Anjani. Pada pengembaraannya di hutan, Sri Rama dan Sita Dewi sempat menjadi kera karena mencerburkan diri pada kolam sehari bunting. Saat menjadi kera itu, mereka bersetubuh. Setelah menjadi manusia kembali, diketahui bahwa mereka akan melahirkan anak berwujud kera. Dipaksalah agar Sita Dewi mengeluarkan manikam dari tubuhnya. Manikam itu dibungkus Sri Rama dengan daun budi, kemudian diberikan kepada angin Bayu bata supaya dibubuhkan kepada mulut Dewi Anjani yang sedang bertapa di tengah laut. Kemudian lahirlah Hanuman (HSR: 209)

¨ Maharesi Kala menciptakan Gusi (kembaran Tilawi, anak Sita Dewi), dari daun pucuk ilalang. Gusi diciptakan Maharesi Kala karena Tilawi yang sedang dalam asuhannya, hilang. Gusi akan diajdikan sebagi pengganti Tilawi. Ternyata Tilawi menemui ibunya, Sita Dewi (HSR: 738).

Selanjutnya, dalam aspek agama, Ikram (1980: 8) menjelaskan bahwa pada zaman itu sebagian besar penduduk Sumatra sudah beragama Islam, tetapi setebal apa keimaan dan sekuat apa sisa-sisa agama Hindu dan kepercayaan pribumi tak ada gambaran yang jelas. Dalam HSR, misalnya, kita lihat bahwa frekuensi penggunaan ungkapan ’Dewata Mulia Raya’ jauh lebih tinggi daripada ungkapan ’Allah taala’, Akan tetapi, hal itu mungkin hanya merupakan penyesuaian dengan suasana cerita saja, bukan bukti kekuatan unsur Hindu yang lebih besar. Kita tahu pula bahwa di sekitar zaman itulah di Aceh berkembang sastra keagamaan Islam dengan tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin; suatu zaman yang merupakan taraf konsolidasi agama Islam di Indonesia. Juga suatu zaman yang sudah mengenal cerita-cerita Islam seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, dan Hikayat Amir Hamzah. Ditinjau secara umum, nilai-nilai yang dikemukakan HSR tak ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam Bahkan ada yang sesuai sekali seperti kedermawanan yang termasuk amal yang saleh, kesabaran, dan kerendahan hati.

Menurut isinya, hikayat ditujukan kepada raja, tetapi tidak kurang pula unsur menarik bagi orang kebanyakan sehingga dalam abad ke-19 ia disukai sebagai bacaan umum di daerah Betawi (Ikram, 1980: 8). Winstead pernah mengemukakan bahwa naskah Laud sangat boleh jadi ditulis untuk khalayak istana kerajaan Islam yang masih menyukai cerita Hindu, asal saja isinya disesuaikan dengan persyaratan Islam (dalam Ikram, 1980: 8).

Berkenaan dengan budaya, dalam HSR ini terungkap kisah tentang pembuatan jembatan penyeberangan. Jembatan penyeberangan yang dibuat, tidak tanggung-tanggung, yaitu jembatan untuk menyeberangi lautan dalam upaya menyerang negeri Langkapuri tempat berkuasanya Rawana yang menculik Sita Dewi. Meskipun dalam kisah ini, pembuatan jembatan itu dibumbui dengan kejadian-kejadian yang luar biasa, tetapi sudah menggambarkan adanya upaya, penggunaan akal budi, guna mencapai tujuan.

6. Keterkaitan antara Struktur, Bahasa, dan Aspek Mimesis dalam HSR

Keterkaitan antara Struktur dan Bahasa

Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa dalam mengisahkan hikayat ini, pengarang menggunakan bahasa seperti orang yang menceritakan sejarah. Apa yang diceritakan dan digambarkan dari tokohnya adalah apa-apa yang teramati. Eksistensi kejiwaaan para tokoh pun tersimpulkan dari prilaku para tokoh tersebut. Jadi, bahasa digunakan sebagai alat pemaparan (ekspositoris). Bahasa yang digunakan berkesan bahasa lugas, objektif, bukan bahasa artifisial yang dibuat-buat demi keindahan cerita.

Dalam HSR, unsur bahasa selain sebagai media untuk mengantarkan cerita, juga berfungsi sebagai pembentuk struktur cerita. Hal ini ditandai dengan penggunaan kalimat-kalimat tertentu sebagai judul dan pengawal episode.

Dalam hal penggunaan kosakata, HSR cenderung menggunakan kata-kata yang sederhana, tanpa banyak variasi atau perbedaan nuansa. Kesederhanaan penggunaan bahasa tersebut berpengaruh pada penyampaian amanat oleh pengarang melalui tokoh-tokohnya. Amanat-amanat yang diajarkan HSR tidak hanya disampaikan oleh tokoh tertentu, tokoh utama atau atau tokoh protagonis, tetapi juga dibawakan oleh tokoh-tokoh lain secara berulang-ulang. Penekanan amanat dilakukan dengan cara pengulangan tidak dengan bahasa yang padat dan dalam.

Keterkaitan antara Struktur dan Mimesis

Sebagaimana karya satra lainnya, HSR, terbentuk atas unsur-unsur cerita yang membangunnya. Mengenai struktur HSR ini sudah dijelaskan secara lengkap pada bagian yang lalu. Demikian juga sebagai karya seorang sastrawan, HSR tidak terlepas dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada di sekitar pengarangnya. Ada keterkaitan yang erat antara struktur (intrinsik) dengan unsur mimesis (ekstrinsik).

Unsur kehidupan nyata atau mimesis (ekstrinsik) dalam HSR tecermin antara lain terkandung dalam unsur tokoh, latar, dan amanat.

Berdasarkan identitas naskah tersebut, HSR ini diciptakan pengarangnya sebelum abad ke-15 atau ke-16. Pada kurun waktu itu, masyarakat dunia, sedang dikuasai oleh penguasa-penguasa berstatus raja. Wajarlah jika HSR ini berlatar fisik dan sosial lingkungan masyarakat kerajaan (istana centris). Tidak mengherankan jika tempat-tempat peristiwa berlatar istana kerajaan. Demikian juga kehidupan sosial yang digambarkan adalah kehidupan masyarakat feodal, yang terdiri dari masyarakat umum yang berstatus sebagai abdi (kawula) di satu sisi, dengan kelompok penguasa yang bestatus sebagai tuan. Dari dua kategori masyarakat cerita, yang dominan, bahkan hampir selamanya, berperan adalah kelompok tuan, pembesar kerajaan (raja-raja, hulubalang, dan kalangan istana lainnya), masyarakat kawula hampir tidak pernah diceritakan.

Pada saat itu juga, masyarakat Sumatra, bisa dikatakan berada pada masa transisi keyakinan akan agama. Agama Islam sedang memasuki tahap konsolidasi, khususnya di Aceh. Sedangkan agama Hindu memasuki masa meredup. Keadaan ini tampak pada HSR. Pada kisah ini terdapat tokoh Islam, yaitu Nabi Adam yang berperan menyampaikan amanat cerita dalam dialognya dengan Rawana. (lihat HSR: 4-5). Selanjutnya, amanat tersebut meskipun disampaikan sebagai persyaratan raja yang ideal, pada dasarnya, secara umum, nilai-nilai yang dikemukakan HSR tak ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam Bahkan ada yang sesuai sekali seperti kedermawanan yang termasuk amal yang saleh, kesabaran, dan kerendahan hati.

Adapun alam khayali, bagi masyarakat masa kini, banyak terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang membentuk alur kisah ini. Demikian juga aspek budaya.

Keterkaitan antara Bahasa dan Mimesis

Dalam HSR, bahasa yang merupakan media cerita, juga dipengaruhi oleh aspek mimesis yang mempengaruhi cerita. Dalam kisah ini frekuensi penggunaan ungkapan ’Dewata Mulia Raya’ jauh lebih tinggi daripada ’Allah taala’, Akan tetapi, hal itu mungkin hanya merupakan penyesuaian dengan suasana cerita saja, bukan bukti kekuatan unsur Hindu yang lebih besar. Kita tahu pula bahwa di sekitar zaman itulah di Aceh berkembang sastra keagamaan Islam dengan tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin; suatu zaman yang merupakan taraf konsolidasi agama Islam di Indonesia. Juga suatu zaman yang sudah mengenal cerita-cerita Islam seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, dan Hikayat Amir Hamzah.

HSR yang diteliti oleh Ikram (1980) ini didasarkan pada kisah Rama yang ada pada Naskah Laud. Kisah ini tergolong naskah Melayu tertua. Naskah ini jelas menggunakan bahasa Melayu sebagai medianya. Dengan begitu, dari kisah ini kita bisa memperkirakan bahwa hikayat, yang sudah dipengaruhi oleh agama Islam, pada masa itu sudah merupakan suatu karya sastra. Hikayat ini terutama ditujukan untuk masyarakat istana atau raja-raja Islam. Selain itu, ditujukan juga untuk masyarakat umum. Sebagaimana pendapat Ikram (1980: 8) bahwa menurut isinya, hikayat ditujukan kepada raja, tetapi tidak kurang pula unsur menarik bagi orang kebanyakan sehingga dalam abad ke-19 ia disukai sebagai bacaan umum di daerah Betawi.

Aspek mimesis lain yang justru paling penting adalah nilai-nilai kehidupan yang disampaikan dalam amanat cerita. Asepk ini terungkap dalam HSR dalam beberapa kali dan melalui beberapa tokoh. Hal ini karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang ekspositoris dan objektif. Penekanan nilai-nilai kehidupan yang ingin disampaikan dilakukan cara pengulangan, bukan dengan bahasa yang direkayasa.

Akhirnya, secara umum bisa disimpulkan bahwa pengarang cerita ini seakan-akan ingin mengatakan bahwa kisah dalam HSR ini bukan rekayasa, terutama bukan rekayasa dirinya (baca: ini kisah yang benar-benar terjadi). Dia menceritakan kisah ini berdasarkan orang lain. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa yang sederhana, ekspositoris, lugas dan objektif. Hal ini tampak pula dari penggunaan beberapa ungkapan seperti : Ini hikayat yang terlalu indah-indah termashur diperkatakan orang di atas angin dan di bawah angin, nyata kepada segala sastra, ..., Alkisah ini diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini ..., Adapun dihikayatkan orang yang empunya hikayat ini ..., Ini hikayat ...., Datanglah kepada hikayat ....

Daftar Pustaka

Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Ikram, Achadiati. 1980. Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

________. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.